Senin, 07 November 2016

Atasi Dengue dengan EDP Project (Part 1)

(Tukang Ngemeals at EDP Project Invitation). Waktu begitu cepat berlalu. Tak terasa kini sudah mendekati Bulan Desember. Sudah hampir 4 tahun lamanya saya berada di Yogyakarta, Menikmati romantisme masa-masa menjadi anak kuliahan. Bergelut dengan tugas-tugas. Banyak hal juga telah saya lalui. Jogja diguyur hujan deras Desember ini. Lapis demi lapis kumulonimbus tak ubahnya seperti gumpalan-gumpalan kapas yang terbang di langit. Terkadang menimbulkan mendung yang gelap dan pekat. Terkadang pula menjatuhkan jarum-jarum tajam dari langit. Juga petir yang menggelegar. Ah, hujan Bulan Desember. 

Hujan Bulan Desember ini mengingatkan saya pada seorang kawan yang pernah dirujuk ke RS Sardjito karena menderita demam berdarah. Kala air menderas dari langit. Menimbulkan bunyi gemerisik. Juga kecipak-kecipuk langkah-langkah kaki karena jalanan tergenang air. Menjadikan sebagian orang memilih berdiam diri di rumah. Mendekam dalam selimut. Sedangkan kawan saya ini merasakan nyeri di hampir sebagian tubuhnya. Demam hebat yang tak berkesudahan. Mimisan. Muntah-muntah disertai timbulnya bintik merah di sepanjang kulit. Saya bergidik ngeri jika teringat akan hal itu. 

Yogyakarta merupakan wilayah endemik terjangkitnya penyakit demam berdarah. Seperti dilansir sorotjogja.com, memasuki kuartal pertama di tahun 2015 ada 3 daerah yang rentan terhadap serangan DBD (Demam Berdarah Dengue).  Ketiga daerah itu adalah Kecamatan Gondokusuman, Kecamatan Tegalrejo, dan Kecamatan Ngampilan. Fitri Yulia Kusworoni selalu Kepala Dinas Kesehatan Kota Yogya menyatakan bahwa terdapat kenaikan jumlah pasien DBD yang dirawat di puskemas yang pada tahun 2014 ada 19 kasus, pada tahun 2015 naik menjadi 90 kasus. Ini baru wilayah Kota Yogya. Bagaimana dengan wilayah lain seperti Sleman dan Bantul yang juga rentan terhadap kasus ini?

Demam berdarah (demam dengue) adalah salah satu momok yang ditakuti masyarakat. Penyakit ini disebabkan oleh Virus Dengue melalui gigitan nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus. Demam dengue mengancam hampir 2.5 miliar penduduk bumi. Kasus tertinggi menimpa wilayah ASEAN, termasuk Indonesia. Berdasarkan data WHO (World Health Organization) setiap tahun sekitar 390 juta orang terinfeksi dengue. Sebanyak 22.000 orang terutama anak-anak dan remaja meninggal dunia. Bagaimana dengan di Indonesia? Angkanya meningkat, di mana pada tahun 2012 jumlah kasus 90.245 menjadi 105.545 kasus pada tahun 2013.

Hal umum yang dilakukan warga untuk mengantisipasi merebaknya DBD yakni dengan menjaga lingkungan agar terkondisikan bersih. Pemerintah melalui dinas kesehatan tak henti-hentinya menghimbau agar warga melakukan gerakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) melalui aksi 3 M (Menguras, Mengubur, dan Mengubur barang bekas yang sudah tidak terpakai). Ada pula istilah ikanisasi (menempatkan ikan-ikan di bak mandi atau kolam agar ikan-ikan tersebut memakan jentik-jentik nyamuk) dan larvasidasi (membunuh larva-larva nyamuk Aedes Aegypti dengan menggunakan abate). Selain itu, ada pula tindakan fogging (pengasapan). Tempat tinggal saya yang letaknya persis di depan Fakultas Teknik UNY di mana dilalui Selokan Mataram juga tak luput dari aksi fogging tiap tahunnya.

Namun apakah cara-cara lama ini cukup efektif mengurangi kasus-kasus terkait DBD? Hey ini sudah tahun 2015! Maksud saya adakah suatu terobosan di dalam sains, terutama di bidang biologi sel & molekuler, bioteknologi dan rekayasa genetika yang mampu menciptakan suatu vaksin yang menghambat transmisi virus dengue dari nyamuk ke manusia? Membuat telur-telur nyamuk menjadi infertil misalnya? Memperpendek usia hidup nyamuk yang menjadi inang virus dengue?

Pada tanggal 1 Desember, saya bersama rekan-rekan Komunitas Blogger Jogja (KBJ) mendapat undangan dari EDP (Eliminate Dengue Project) Yogyakarta untuk mengunjungi insektarium dan laboratorium diagnosis di mana terdapat fasilitas riset untuk meneliti nyamuk Aedes aegypti. Fasilitas riset ini cukup lengkap. Di dalamnya terdapat tempat penetasan telur-telur nyamuk berukuran kurang lebih 50 mikron di mana telur-telur tersebut hanya dapat dilihat melalui mikroskop elektron.

Fasilitas riset EDP Yogyakarta dilaksanakan di bawah naungan Pusat Kedokteran Tropis Universitas Gadjah Mada (UGM) dan didanai oleh Yayasan Tahija Jakarta (organisasi filantropi nonprofit yang bergerak di bidang pendidikan, kesehatan, dan juga pelayanan sosial). Dalam riset ini, UGM menjalin kerjasama dengan Monash University di Australia. Untuk EDP global melibatkan sejumlah negara seperti Australia, Vietnam, Brazil, Singapura, Colombia, termasuk Indonesia. Ini proyek riset prestius yang digarap serius, berbiaya mahal, melibatkan sejumlah ahli dan peneliti dari berbagai negara serta membutuhkan waktu yang tidak singkat untuk pengujiannya. 

Ada hal yang menarik dalam proyek riset ini. Ternyata para peneliti menggunakan bakteri Wolbachia untuk mengendalikan virus dengue. Ini penemuan menarik dan melibatkan multidisiplin ilmu seperti bioteknologi, virologi, bakteriologi, entomologi, dan juga biologi molekuler. Bahkan saya berusaha mencari jurnal-jurnal ilmiah terkait penelitian ini.

(Bersambung di part 2)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar